Monday, May 20, 2013

Short Trip to Paris


Tibalah saya untuk pertama kalinya di bandara Charles de Gaulle, Paris. Ini merupakan perjalanan pertama saya ke benua eropa dengan bermodalkan kenekatan tingkat tinggi. Saya terlalu girang saat bisa melihat orang-orang di sekeliling saya berbahasa Prancis, melihat petunjuk-petunjuk arah dengan bahasa Prancis, dan semuanya berbau Prancis. Saya tidak bisa membayangkan sebelumnya, kota yang selama ini hanya saya bisa lihat di majalah dan televisi, kini hadir dalam bentuk nyata di depan mata saya sendiri.



Satu pengalaman pembuka yang tidak mengenakkan setibanya di Paris. Saya harus merelakan koper saya tertahan di bandara Schipol, Belanda saat transit. Heboh dan kesal perasaan saya bercampur aduk, tetapi untungnya tidak menurunkan mood bahagia saya karena telah berhasil menginjakkan kaki di kota ini. Tanpa koper, trip ini harus berjalan terus. Mood sudah terjaga dan muka sumringah langsung terpancarkan saat saya melihat seorang penampakan perempuan Indonesia dari kejauhan.

Dia pun menghampiri dan berteriak “Hey Rezzy, bienvenue à Paris!”

Dan dengan begitu alarm penanda penjelajahan di Paris resmi dimulai.

Satu perbedaan yang signifikan dan terlihat sekali antara Jakarta dan Paris adalah suhu. Saat saya keluar dari bandara CDG, saya merasakan kulit saya disembur oleh hempasan angin sejuk dari udara luar. Saat saya datang, disana sedang musim gugur. Diperkirakan temperatur suhunya mencapai 15-20 derajat celcius. Dari bandara Charles de Gaulle, saya harus melewati jalan tol yang cukup ramai. Ternyata, kita juga bisa menemukan yang namanya macet di Paris. Semua ibukota negara pasti traffic-nya selalu padat, tapi paling tidak di Paris masih banyak jalan alternatif lain untuk menghindari kemacetan.




Next, saya menuju Champs-Elysées, disini adalah surganya orang-orang yang suka shopping. Analoginya, Champs-Elysées itu seperti pasar Blok M yang kiri-kanannya dipenuhi dengan toko-toko. Cuma bedanya, disini toko-tokonya bermerk semua dan asli, gak ada yang palsu. Mau cari apa disini? Cartier, LV, Prada, Gucci, YSL, semua lengkap. Foto berikut saya ambil bersama teman Indonesia saya di depan toko Mont Blanc.




Mari kita bergerak ke tempat wisata yang lain. Kita belajar sejarah dan budaya Prancis di Musée du Louvre. Buat yang pernah mengenal lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci, nah disinilah lukisan asli itu di pajang. FYI, museum ini besar banget, jadi mohon siapkan kaki kalau mau berjalan-jalan dan melihat semua isinya. Kalau saran saya, siapkan waktu seharian dari pagi sampai sore untuk mengunjungi museum ini.




Bergerak lagi kita menuju ke Sacré Coeur Montmartre. Awalnya saya kira bangunan ini adalah masjid karena bentuk atapnya seperti kubah. Sebenarnya ini adalah salah satu gereja basilik yang terkenal di dunia. Saya menyempatkan diri untuk masuk ke dalam dan saya menyerah dengan keindahan desain interiornya, benar-benar peninggalan jaman Renaissance, klasik dan antik. Dari sini pula kita bisa melihat ibukota Paris dari ketinggian. Apalagi kalau malam hari, terlihat sangat bagus sekali kota cinta ini dengan lampu-lampunya.



Selain di Montmartre, ada satu lagi bangunan tertua yang sangat terkenal lewat filmnya The Hunchback of Notre-Dame. Notre-Dame de Paris juga salah satu gereja katholik tertua di dunia. As always, bangunan ini sudah ada beratus-ratus tahun, tapi masih berdiri kokoh hingga sekarang tanpa cacat sedikitpun. Saya selalu takjub dengan arsitektur abad ke 16-18, selain saya pengagum bangunan-bangunan gothic, juga karena desainer pada zaman itu sangat memperhatikan detailnya. Bayangkan saja, setiap ukiran-ukiran yang menempel di dinding gereja ini semuanya merupakan simbol. Jadi, bangunan bukan sekedar bangunan, tapi memiliki pesan dan makna yang ingin disampaikan.



Tepat sekali di belakang Notre Dame de Paris, saya menemukan jembatan yang pinggirannya dipenuhi oleh gembok-gembok bertuliskan nama-nama orang dari seluruh dunia. Ternyata ini yang dinamakan Gembok Cinta. Jadi, buat yang sudah mempunyai pasangan dan ingin hubungannya awet, tuliskan saja nama kamu dan pasangan kamu di gembok ini dan dikunci. Ada sebuah tradisi yang mengatakan bahwa barang siapa diantara para pendatang yang menginjakkan kaki di titik nol Notre-Dame de Paris, niscaya dia akan bisa balik lagi ke Paris. Titik nol ini juga merupakan kilometer 0 di kota Paris. Semua arrondissement di Paris dimulai dari titik ini.


Hari sudah menuju sore. Saya berniat untuk melihat tempat shooting video klipnya Adele yang Someone Like You. Ini dia tempatnya, Les Invalides. Kita coba kembali ke L’avenue Champs-Elysees. Saya berjalan bak Parisian dengan tas yang ditenteng di tangan dengan kecepatan kaki melangkah diatas rata-rata. Itulah orang-orang Paris, dengan gaya terburu-burunya yang ditunjang juga dengan pakaian yang fashionable. Elegan dipandang, indah untuk diapresiasikan.

Tak kerasa saya sudah hampir 1 km berjalan di Champs-Elysees, dan L’Arc de Triomphe pun sudah mulai terlihat. Bangunan ini bentuknya menyerupai benteng. Jika diperhatikan, di setiap dindingnya terdapat nama-nama pahlawan yang gugur saat Revolusi Prancis tahun 1789.

Jalan-jalan seru di kota Paris selama seharian penuh ini tidak cukup kalau tidak mendatangi obyek wisata yang masuk ke 7 Wonders of the World ini, Menara Eiffel. Percaya atau tidak ya, saya nangis saat pertama kali melihat menara ini. Eiffel terlihat sangat megah dan cantik di malam hari, apalagi dengan munculnya lampu sorot setiap sejam sekali. Lampu sorot yang dikeluarkan per jam ini sengaja dibuat pemerintah untuk mempercantik menara yang dibangun oleh Gustave Eiffel ini. Dan konon, jika menyala, cahaya dari lampu tersebut bisa dilihat oleh seluruh orang di pelosok kota Paris.

Saya segera mengarahkan langkah kaki saya ke Trocadero untuk melihat Eiffel lebih dekat lagi sambil meneguk secangkir kopi kecil yang berharga 8 euro. Minum kopi dengan pemandangan menara Eiffel, kapan lagi? Dan inilah Paris, dengan segala magnet-magnetnya yang bisa menarik jutaan penduduk dunia hanya untuk berkunjung ke kota cantik ini. Dibalik rutinitas orang-orang Paris yang selalu terburu-buru, tingkat kriminalitas yang tinggi, dan perlakuan rasisme, Paris tetap menjadi kota yang nyaman untuk disinggahi.



Saya hanya bisa bilang, kota ini memang mempunyai kekuatan magis, membuat orang-orang yang pernah datang tidak mau pulang, atau bahkan berharap bisa kembali lagi.